VISI : TERDEPAN, UNGGUL DAN PRIMA MENUJU KUA PARIPURNA TAHUN 2012. MISI : 1. Menjadikan KUA sebagai pusat informasi dan pelayanan masyarakat dalam bidang keagamaan; 2. Membangun kerjasama yang harmonis dengan berbagai elemen masyarakat baik pemerintah maupun tokoh sosial keagamaan; 3. Menjadi pelopor dan motivator peningkatan kegiatan keagamaan; 4. Memberikan pelayanan yang maksimal dalam bidang pencatatan Nikah dan Rujuk.

PROSEDUR PENCATATAN NIKAH

Thursday, December 16, 2010

Hisab dan Rukyat Saling Melengkapi

Republika Online
Minggu, 12 Desember 2010 pukul 12:47:00...
Prof Thomas Djamaluddin: .......

WAWANCARA ......

Di Indonesia, penetapan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha sering kali berbeda antara satu ormas Islam dengan yang lainnya. Fenomena itu terkadang membuat umat di akar rumput menjadi bingung. Ada ormas Islam yang menetapkan hari besar bagi umat Islam itu dengan metode hisab dan ada pula yang menggunakan rukyat. Benarkah kedua metode itu akan menciptakan hasil yang berbeda? “Secara astronomi, hisab dibuktikan dengan rukyat dan rukyat dipandu hisab. Jadi, mestinya kompatibel, bisa saling menggantikan,” ujar Prof Dr Thomas Djamaluddin, pakar astronomi, yang juga profesor astronomi dan astrofisika Lapan, kepada wartawan RepublikaNashih Nashrullah.
Pengajar pada program magister dan doktor ilmu falak di IAIN Walisongo Semarang itu mengungkapkan, perbedaan penetapan hari raya itu terjadi karena adanya kriteria yang berbeda. Sesama rukyat dan sesama hisab pun, kata dia, bisa berbeda keputusannya kalau kriterianya beda. Bisakah perbedaan kriteria itu disamakan? Berikut petikan wawancaranya:


Ada yang menganggap ilmu astronomi (falak atau hisab) tak akurat. Apa pendapat Anda?
Ilmu falak adalah bagian dari astronomi yang mengkhususkan pada peredaran bulan dan matahari untuk perhitungan waktu dan posisi. Astronomi adalah bagian dari sains yang bisa dihasilkan dan diuji oleh siapa pun, Muslim atau non-Muslim. Pada awal perkembangannya, astronom Muslim banyak berkontribusi karena aktifnya pengamatan benda-benda langit yang dipicu kebutuhan ibadah dan dorongan Alquran untuk mengkaji alam.
Non-Muslim juga banyak berkontribusi dalam pengembangan astronomi. Sulit memisahkan nama produk Muslim dan non-Muslim dalam astronomi karena sains bersifat kumulatif. Jadi, tidak tepat mengatakan astronomi itu muncul dari luar Islam. Sebagai sains, astronomi terus diuji dan disempurnakan karenanya akurasi perhitungannya semakin akurat. Astronomi bukan hanya untuk kepentingan ibadah umat Islam, melainkan sudah memasuki berbagai aspek kehidupan manusia.

Ulama terkemuka, Syekh Yusuf Al-Qaradhawi, membolehkan hisab, tapi posisi metode itu hanya sebagai penguat rukyat bil fi'li, menurut Anda?
Dengan akurasi yang makin tinggi, astronomi sangat layak dipakai dalam kehidupan sehari-hari, termasuk untuk hisab (perhitungan) dan rukyat (pengamatan) hilal (bulan sabit pertama). Jadi, kini posisinya bukan sekadar penguat rukyat, melainkan pada prinsipnya bisa menjadi pengganti rukyat dalam kondisi tertentu.

Benarkah hisab dan rukyat bisa saling melengkapi?
Ya, dalam astronomi tidak ada dikotomi hisab dan rukyat. Sebab, hisab dihasilkan dari rukyat jangka panjang dan rukyat perlu dipandu hisab. Dari segi dalil fikih, banyak orang masih mempertentangkannya, tetapi dengan pemahaman yang benar, keduanya bisa dipersatukan tanpa memperdebatkan dalil.
Silakan masing-masing mengamalkan dalil yang diyakininya, tetapi dengan mempertemukan kriterianya. Pengamal rukyat perlu dipandu kriteria hisab karena pengamat hilal saat ini mudah terkecoh objek nonhilal. Hilal itu sangat tipis dan sangat redup, sementara gangguan cuaca serta polusi udara dan polusi cahaya makin parah.
Pengamal hisab pun perlu dipandu kriteria rukyat karena hisab hanya menghasilkan angka posisi hilal, sedangkan dalilnya merujuk pada wujud ketampakan hilal. Wujud ketampakan hilal sangat dipengaruhi oleh kecemerlangan cahaya matahari dan cahaya ufuk pasca-Maghrib. Nah, kriteria hisab-rukyat itu memberikan batasan posisi hilal seperti apa yang mungkin bisa dirukyat menurut ketentuan dalil fikih. Kriteria hisab-rukyat itulah yang mempersatukan kedua metode tanpa mempermasalahkan lagi perbedaan dalil-dalil fikihnya.

Mengapa penetapan Idul Fitri dan Idul Adha terkadang berbeda?
Secara astronomi, hisab dibuktikan dengan rukyat dan rukyat dipandu hisab. Jadi, mestinya kompatibel, bisa saling menggantikan. Mengapa sering terjadi perbedaan antara kedua metode itu? Karena kriterianya beda. Bukan hanya antara metode hisab dan rukyat yang berbeda, sesama rukyat dan sesama hisab juga bisa berbeda keputusannya kalau kriterianya beda.
Hasil rukyat untuk hilal terlalu rendah bisa saja keliru karena mungkin yang diamatinya ternyata bukan hilal sesungguhnya. Cahaya redup yang dilihat pengamat bisa saja awan terang kecil atau cahaya planet Venus. Kasus penentuan Idul Fitri 1418 H/1998 M jelas masalahnya bukan karena perbedaan metode.
Sesama ahli rukyat bisa berbeda keputusan karena kriteria yang berbeda. PBNU menolak kesaksian di Cakung dan Bawean karena hilal dianggap terlalu rendah. Hasil hisab yang sama angkanya bisa juga berbeda kesimpulannya karena kriteria yang berbeda. Pada kasus 1418 H/1998 M, tersebut tinggi bulan 54'. Menurut Muhammadiyah, itu sudah di atas ufuk sehingga bisa dijadikan dasar masuknya awal Syawal. Tetapi, menurut Persis, juga pengamal hisab, ketinggian itu terlalu rendah untuk menetapkan awal Syawal.

Lantas apa pokok permasalahan perbedaan hari raya di Indonesia? Kriteria hilal yang belum "tuntas" disepakati atau ada faktor lain?
Pokok masalah utama adalah belum adanya kriteria tunggal yang disepakati. Perlu kita ketahui, ada tiga syarat agar suatu sistem kalender menjadi mapan, yakni ada otoritas tunggal yang menetapkannya, ada kriteria yang disepakati, dan ada batas wilayah keberlakukan yang disepakati. Kalender Masehi telah memenuhi tiga syarat tersebut setelah mengalami proses panjang ratusan tahun.
Untuk kalender Hijriyah yang bersifat global, tiga syarat itu belum memenuhi kesepakatan. Tetapi, untuk tingkat nasional, di Indonesia, dua syarat sudah terpenuhi. Menteri Agama secara umum sudah dianggap sebagai otoritas yang mengumumkan penetapan awal-awal bulan Hijriah. Batas wilayah seluruh Indonesia juga sudah disepakati. Nah, tinggal masalah kriteria yang perlu kita tuntaskan.

Kriteria visibilitas hilal Internasional dinilai terlalu tinggi, mungkinkah bisa diterapkan dalam konteks Indonesia? Apa perbedaan kriteria visibilitas internasional dengan nasional?
Kriteria visibilitas (ketampakan) hilal internasional didasarkan pada hasil penelitian data-data astronomi tentang kemungkinan terlihatnya hilal. Memang masih dianggap terlalu tinggi dibandingkan dengan kriteria di Indonesia. Muhammadiyah menggunakan kriteria "wujudul hilal" yang berarti tinggi minimal hilal 0 derajat.
Sedangkan NU menggunakan kriteria tinggi hilal minimal 2 derajat. Secara internasional, umumnya tinggi hilal lebih dari 3 derajat (atau beda tinggi bulan-matahari lebih dari 4 derajat) bila jauh dari matahari dan bila dekat matahari jarak bulan-matahari harus lebih dari 6,4 derajat.
Kriteria astronomi semacam itu yang saya tawarkan untuk menggantikan kriteria yang bermacam-macam di Indonesia. Kriteria astronomis dimaksudkan agar hasil hisab sesuai dengan hasil rukyat yang benar sehingga sangat mungkin bisa diterapkan sebagai titik temu metode hisab dan rukyat.

Kriteria yang saat ini dipakai oleh sejumlah ormas di Indonesia menurut Anda tidak dibenarkan secara ilmu astronomi, bisa Anda jelaskan?
Kriteria yang digunakan oleh ormas-ormas Islam adalah kriteria lama yang pada zamannya dianggap yang paling tepat. Namun, dengan pemahaman astronomi yang lebih baik, kriteria-kriteria itu dianggap kurang tepat. Kriteria "wujudul hilal" yang digunakan Muhammadiyah dianggap rancu secara astronomis.
Hilal adalah fenomena rukyat yang tidak mungkin terjadi saat bulan di dekat ufuk karena cahayanya kalah dari cahaya ufuk. Penafsiran pergantian hari merujuk pada tafsir Alquran surah Yasin ayat 40 terkesan mengada-ada. Secara internasional, tidak ada seorang astronom pun yang mendefinisikan peralihan bulan pada saat wujud di ufuk karena tidak mungkin dibuktikan dengan pengamatan.
Untuk keperluan praktis, astronom selalu menggunakan fenomena yang bisa dibandingkan dengan pengamatan nyata. Hanya dua batasan peralihan bulan yang lazim digunakan: saat konjungsi/ijtimak (segarisnya bujur ekliptika bulan dan matahari) yang bisa dibuktikan saat gerhana matahari total dan saat terlihatnya hilal sesudah Maghrib. Pada sisi lain, kriteria tinggi hilal 2 derajat yang digunakan NU dianggap terlalu rendah karena cahaya hilal yang sangat redup tidak mungkin mengalahkan cahaya ufuk. Apalagi bila posisinya di dekat matahari, hilal perlu lebih tinggi lagi untuk dapat dirukyat.

Perbedaan metode penetapan hilal di Indonesia memunculkan wacana rukyat global mengacu pada hasil isbat pemerintah kerajaan Arab Saudi, apa pendapat Anda?
Wacana rukyat global merujuk pada keumuman dalil yang dianggap tidak membatasi wilayah tertentu. Hadis Kuraib yang banyak dipakai untuk menjelaskan perbedaan penetapan awal bulan yang mungkin berbeda dianggap tidak valid.
Wacana itu muncul karena penyederhanaan masalah, seolah bumi ini seperti selembar kertas yang bisa secara serempak menyaksikan hilal atau dianggap menyaksikan hilal. Wacana seperti itu kadang disederhanakan menjadi "satu hari satu tanggal, satu tanggal satu hari".
Artinya, kalau ada yang memulai pada hari Senin, semestinya di seluruh dunia juga Senin. Pendapat seperti itu bisa menjebak untuk meninggalkan batas tanggal qamariyah (sistem kalendar bulan/lunar) yang selalu berubah dengan batas tanggal syamsiah (sistem kalender matahari) yang ditetapkan secara konvensional manusia.
Pada sisi lain, wacana tersebut juga berpotensi menyulitkan umat karena harus berjaga sampai Shubuh menunggu informasi terlihatnya hilal di seluruh dunia. Terkait penetapan Idul Adha, penetapan global didasarkan pada penetapan otoritas di Arab Saudi (Majlis al-qadha Al-'Ala, semacam Mahkamah Agung) dalam penetapan hari wukuf walaupun ada kerancuan pemaknaan "Hari Arafah". Secara umum, hari Arafah bermakna tanggal 9 Dzuhijah, tidak terkait dengan wukuf di Arafah karena tidak ada dalil qath'i (tegas) yang mengaitkan keduanya.

Mungkinkah rukyat global diwujudkan?
Rukyat global bisa diwujudkan bila memperhatikan garis tanggal visibilitas hilal. Tidak mungkin wilayah di sebelah Timur garis tanggal itu mengikuti wilayah di Baratnya. Bila garis tanggal melalui Pasifik, mungkin hilal di Indonesia dan Asia Timur berhasil dilihat pertama kalinya.
Maka, awal bulan di hampir seluruh dunia akan bersamaan harinya karena garis tanggal qamariyah hampir bersamaan dengan garis tanggal internasional (syamsiah). Dalam hal ini, kita bisa mengatakan Indonesia 4 jam lebih dahulu daripada Arab Saudi.
Tetapi, bila garis tanggal melintasi India, hilal pertama kali terlihat di negara-negara Arab. Indonesia tidak boleh langsung menyamakan harinya dengan negara-negara Arab itu. Tunggulah 20 jam kemudian. Bila awal bulan terjadi Senin di Arab, hari berjalan ke arah Barat di Eropa dan Amerika masih Senin, tetapi ketika melintas garis tanggal internasional di Pasifik nama hari berubah sehingga di Asia Timur, Indonesia, dan Australia menjadi hari Selasa.
Kita jangan risau dengan perbedaan nama hari karena itu hanya semu akibat garis tanggal hasil konvensi buatan manusia. Bila itu yang dilaksanakan, berarti kita lebih patuh pada garis tanggal qamariyah yang menyesuaikan dengan tampaknya hilal sesuai sunnatullah.

Dalam kasus perbedaan Idul Adha beberapa waktu lalu, bukankah harusnya Indonesia terlebih dahulu merayakan karena berada di belahan ufuk Timur?
Ada dua hal yang harus dijelaskan: Pertama, jangan rancukan waktu matahari dengan bulan Hijriah. Dan kedua, jangan rancukan hari Arafah dengan wukuf di Arafah. Merancukan waktu matahari dengan bulan Hijriah akan membelenggu kita pada paham tunggal, "Indonesia kan hanya 4 jam lebih dahulu dari Arab."
Padahal, dalam konsep bulan Hijriah, kita juga juga bisa mengatakan, "Indonesia 20 jam lebih lambat dari Arab Saudi" dalam penampakan hilalnya, bila garis tanggal qamariyah memisahkan Indonesia dari Arab Saudi.
Merancukan hari Arafah dengan wukuf di Arafah juga membelenggu kita pada paham "mestinya kita puasa Arafah pada saat jamaah haji sedang berwukuf," padahal tidak ada dalil yang memerintahkan itu.
Hari Arafah adalah sekadar penamaan hari tanggal 9 Dzulhijah, sama halnya dengan hari kurban pada 10 Dzulhijah, dan hari Tasyrik pada 1 - 13 Dzulhijah. Jadi, tergantung hilal setempat, tidak harus sama harinya dengan Arab Saudi dan tidak selalu berarti shalat Idul Adha di Indonesia lebih dahulu daripada di Arab Saudi.

Apa solusi agar penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha bisa disamakan?
Masalah kriteria bukan seperti tawar-menawar dalam jual beli dengan anggapan terlalu tinggi lalu ditawar diturunkan, melainkan terkait dengan mencari titik temu hisab dan rukyat. Kriteria tersebut haruslah memungkinkan hilal bisa dirukyat sehingga nanti hasil keputusan hisab akan sama dengan hasil rukyat. Kalau kriteria itu diturunkan sehingga tidak mungkin bisa dirukyat, masalah perbedaan akan kembali terjadi jika ternyata hilal tidak terlihat dalam kondisi cerah. ed; heri ruslan
(-)
====================
READ MORE - Hisab dan Rukyat Saling Melengkapi

Tuesday, May 25, 2010

ISTIWA A'DHOM TAHUN 2010

Apakah arah kiblat masjid bisa berubah? Entah karena gempa bumi maupun bergeraknya lempeng Bumi seperti isu yang tengah berkembang? atau Apakah arah kiblat cukup ke BARAT? Sebagaimana yang difatwakan oleh MUI ?
Dalam ajaran Islam, mengadap ke arah kiblat atau bangunan Ka'bah yang berada di Masjidil Haram adalah merupakan tuntutan syariah dalam melaksanakan ibadah tertentu. Berkiblat wajib dilakukan ketika hendak mengerjakan shalat dan menguburkan jenazah Muslim. Menghadap kiblat juga merupakan ibadah sunah ketika tengah azan, berdoa, berzikir, membaca Al-Quran, menyembelih binatang dan sebagainya.
Theodolit dan GPS dikenal sebagai pengukur arah kiblat yang presisi, namun demikian penggunaan peralatan ini tergolong sulit dan mahal biayanya.
Berdasarkan kebiasaan yang berkembang di masyarakat, terdapat beberapa kaidah yang sering digunakan untuk mengetahui ketepatan arah kiblat. Diantaranya adalah menggunakan kompas kiblat, kompas sajadah atau peralatan canggih seperti pesawat GPS dan theodoliti. Kini, melalui teknologi penginderaan jarah jauh yang disediakan cuma-cuma oleh Google via internet menggunakan software Google Earth atau secara online disediakan oleh situs-situs seperti Qibla Locator atau RHI Qibla Locator yang memanfaatkan fasilitas Google Map Api (GMA) kita dengan mudah dapat mengetahui arah kiblat sebuah bangunan masjid secara visual dan jelas. Namun demikian penggunaan kaidah-kaidah tersebut sering terkendala beberapa masalah. Kompas belumlah dikatakan sebagai alat ukur yang presisi. Sebab dalam penggunaannya, kompas sering mengalami kesalahan. Kesalahan tersebut berupa penyimpangan jarum kompas baik oleh variasi magnetik secara global maupun atraksi magnetis secara lokal oleh logam di sekitarnya. Belum lagi skala kompas biasanya terlalu kasar. Sementara, penggunaan GPS dan theodolit untuk mengukur arah kiblat walaupun bisa mendapatkan hasil yang lebih presisi namun dalam prakteknya kedua peralatan tersebut tidak mudah didapatkan karena harganya yang cukup mahal. Walaupun Google Earth maupun fasilitas qibla locator secara online dapat membantu mengetahui arah kiblat secara visual dengan perhitungan yang sangat akurat, namun piranti tersebut bukan merupakan alat ukur yang presisi di lapangan dan hanya dapat dinikmati oleh kalangan tertentu.
Pada setiap tanggal 28 Mei dan 16 Juli Matahari tepat berada di atas Ka'bah.
Lantas apakah bisa mengukur arah kiblat secara presisi dengan biaya yang murah? Jawabannya adalah BISA! Yaitu dengan menggunakan fenomena astronomis yang terjadi pada hari yang disebut sebagai yaumul rashdul qiblat atau hari meluruskan arah kiblat karena saat itu Matahari tepat di atas Ka'bah. Fenomena yang terjadi 2 kali selama setahun ini dikenal juga dengan istilah Transit Utama atau Istiwa A'dhom.
Istiwa, dalam bahasa astronomi adalah transit yaitu fenomena saat posisi Matahari melintasi di meridian langit. Dalam penentuan waktu shalat, istiwa digunakan sebagai pertanda masuknya waktu shalat Zuhur. Setiap hari dalam wilayah Zona Tropis yaitu wilayah sekitar garis Katulistiwa antara 23,5˚ LU sampai 23,5˚ LS posisi Matahari saat istiwa selalu berubah, terkadang di Utara dan disaat lain di Selatan sepanjang garis Meridian. Hingga pada saat tertentu sebuah tempat akan mengalami peristiwa yang disebut Istiwa A'dhom yaitu saat Matahari berada tepat di atas kepala pengamat di lokasi tersebut.
Konsepnya sederhana! Saat Matahari di atas Ka'bah maka semua bayangan benda tegak akan mengarah ke Ka'bah
Hal ini bisa difahami sebab akibat gerakan semu Matahari yang disebut sebagai gerak tahunan Matahari. Ini diakibat selama Bumi beredar mengelilingi Matahari sumbu Bumi miring 66,5˚ terhadap bidang edarnya sehingga selama setahun Matahari terlihat mengalami pergeseran antara 23,5˚ LU sampai 23,5˚ LS. Pada saat nilai azimuth Matahari sama dengan nilai azimuth lintang geografis sebuah tempat maka di tempat tersebut terjadi Istiwa A'dhom yaitu melintasnya Matahari melewati zenit lokasi setempat.
Demikian halnya Ka'bah yang berada pada koordinat 21,4° LU dan 39,8° BT dalam setahun juga akan mengalami 2 kali peristiwa Istiwa A'dhom yaitu setiap tanggal 28 Mei sekitar pukul 12.18 waktu setempat dan 16 Juli sekitar pukul 12.27 waktu setempat. Jika waktu tersebut dikonversi maka di Indonesia peristiwanya terjadi pada 28 Mei pukul 16.27 WIB dan 16 Juli pukul 16.18 WIB. Dengan adanya peristiwa Matahari tepat di atas Ka'bah tersebut maka umat Islam yang berada jauh dan berbeda waktu tidak lebih dari 5 atau 6 jam dapat menentukan arah kiblat secara presisi menggunakan teknik bayangan Matahari.
28 MEI 2010 @ 16:18 WIB
16 JULI 2010 @ 16:27 WIB
MATAHARI TEPAT DI ATAS KA'BAH
POSISI MATAHARI = ARAH KIBLAT
BAYANGAN MATAHARI = ARAH KIBLAT
Untuk lebih akurat pengukuran disarankan menggunakan benang besar yang berbandul daripada sekedar menggunakan tongkat yang ternyata sulit membuatnya benar-benar tegak.
Teknik penentuan arah kiblat pada hari Rashdul Qiblat sebenarnya sudah dipakai lama sejak ilmu falak berkembang di Timur Tengah. Demikian halnya di Indonesia dan beberapa negara Islam yang lain juga sudah banyak yang menggunakan teknik ini. Sebab teknik ini memang tidak memerlukan perhitungan yang rumit dan siapapun dapat melakukannya. Yang diperlukan hanyalah sebatang tongkat lurus dengan panjang lebih kurang 1 meter dan diletakkan berdiri tegak di tempat yang datar dan mendapat sinar matahari. Pada tanggal dan jam saat terjadinya peristiwa Istiwa A'dhom tersebut maka arah bayangan tongkat menunjukkan kiblat yang benar.
Bahkan dengan menggunakan software khusus yang dapat mengetahui pergerakan benda langit secara presisi kapan secara persis terjadinya Istiwa A'dham dapat diketahui. Untuk tahun 2010 ini misalnya menurut software Starrynight Pro Plus Versi 6.3.8 yaitu sebuah software astronomi yang memiliki tingkat ketepatan sangat tinggi, peristiwa Istiwa A'dhom terjadi pada 28 Mei 2010 pukul 12:17:59 WS atau 16:17:59 WIB dan 16 Juli 2010 pukul 12:26:48 WS atau 16:26:48 WIB. Namun secara praktis angka tersebut bisa dibulatkan ke menit.
Tempat yang memungkinkan penentuan arah kiblat pada 28 Mei dan 16 Juli hanya di daerah terang saja.
Karena di negara kita peristiwanya terjadi pada sore hari maka arah bayangan adalah ke Timur, maka arah bayangan yang menuju ke tongkat adalah merupakan arah kiblat yang benar. Jika anda khawatir gagal karena Matahari terhalang oleh mendung maka toleransi pengukuran dapat dilakukan pada H-2 hingga H+2. Satu hal penting yang harus kita perhatikan adalah JAM yang kita gunakan hendaknya sudah terkalibrasi dengan tepat. Untuk mengetahui standard waktu yang tepat bisa digunakan tanda waktu saat Berita di RRI, layanan telpon 103 atau menggunakan jam atom yang disediakan oleh layanan internet.
Istiwa A'dhom di antipode (Nadir) Ka'bah dapat digunakan sebagai acuan penentuan arah kiblat secara presisi untuk wilayah yang tidak memungkinkan melakukan penentuan arah kiblat pada 28 Mei dan 16 Juli.
Penentuan arah kiblat menggunakan fenomena ini hanya berlaku untuk tempat-tempat yang pada saat peristiwa Istiwa A'dhom dapat secara langsung melihat Matahari. Sementara untuk daerah lain di mana saat itu Matahari sudah terbenam seperti Wilayah Indonesia Timur (WIT) praktis teknik ini tidak dapat digunakan. Maka ada fenomena lain yang dapat digunakan oleh daerah-daerah tersebut sehingga dapat mengetahui arah kiblat secara presisi. Fenomena itu adalah saat Matahari berada tepat di bawah Ka'bah yaitu saat Istiwa A'dhom terjadi di titik Nadir (Antipode) Ka'bah yang terjadi pada setiap tanggal 13 Januari dan 28 November.

Teknik Penentuan Arah Kiblat menggunakan Istiwa A'dhom :

  1. Tentukan lokasi masjid/mushalla/ langgar atau rumah yang akan diluruskan arah kiblatnya.
  2. Sediakan tongkat lurus panjang minimal 1 meter. Akan lebih bagus jika menggunakan benang besar yang diberi bandul sehingga tegak benar.
  3. Siapkan jam/arloji yang sudah dicocokkan / dikalibrasi waktunya secara tepat dengan radio/ televisi/ internet atau telpon ke 103.
  4. Tentukan lokasi pengukuran; di dalam masjid (diutamakan) atau di sisi Selatan Masjid atau di sisi Utara atau di halaman depan masjid. Yang penting tempat tersebut datar dan masih mendapatkan penyinaran Matahari saat peristiwa Istiwa A'dhom berlangsung.
  5. Pasang tongkat secara tegak dengan bantuan lot tukang (jika menggunakan tongkat) atau pasang benang lengkap dengan bandul serta penyangganya di tempat tersebut.
  6. (Persiapan jangan terlalu mendekati waktu terjadinya fenomena agar tidak terburu-buru)
  7. Tunggu sampai saat Istiwa A'dhom terjadi dan amatilah bayangan Matahari yang terjadi. Berilah tanda menggunakan spidol, benang, lakban, penggaris atau alat lain yang dapat membuat tanda lurus. Maka itulah arah kiblat yang sebenarnya
  8. Gunakan benang, sambungan pada tegel lantai, atau teknik lain yang dapat meluruskan arah kiblat ini ini ke dalam masjid. Intinya yang hendak kita ukur sebenarnya adalah garis shaff yang posisinya tegak lurus (90°) terhadap arah kiblat. Maka setelah garis arah kiblat kita dapatkan untuk membuat garis shaff dapat dilakukan dengan mengukur arah sikunya dengan bantuan benda-benda yang memiliki sudut siku misalnya lembaran triplek atau kertas karton.
Sebaiknya bukan hanya masjid atau mushalla / langgar saja yang perlu diluruskan arah kiblatnya. Mungkin kiblat di rumah kita sendiri selama ini juga saat kita shalat belum tepat menghadap ke arah yang benar. Sehingga saat peristiwa tersebut ada baiknya kita juga bisa melakukan pelurusan arah kiblat di rumah masing-masing. Semoga cuaca cerah.
Semoga dengan lurusnya arah kiblat kita, ibadah shalat yang kita kerjakan menjadi lebih afdhal dan doanya lebih dikabulkan. Amin.

Ringakasan dari tulisan MUTOHA ARKANUDDIN, judul asli "HARI MELURUSKAN ARAH KIBLAT TAHUN 2010 dalam http://www.facebook.com/?ref=home#!/notes/mutoha-arkanuddin/hari-meluruskan-arah-kiblat-tahun-2010/10150196141810164
READ MORE - ISTIWA A'DHOM TAHUN 2010

Wednesday, May 19, 2010

GEMPA BUMI DAN PERGESERAN ARAH KIBLAT

Pakar Gempa ITS Drs. Amin Widodo :
Akibat gempa yang datang bertubi-tubi memungkinkan besar terjadinya pergeseran arah kiblat di sejumlah masjid di Indonesia. Pergeseran tanah di Indonesiaa terjadi 7 cm setiap tahun. Ka’bah tidak bergeser, tetapi masjid yang mengelilinginya bias bergerak dan berubah posisi.
Detikcom. Kamis 21/01/2010
Arah kiblat yang menjadi pusat sholat umat Islam diduga sedang mengalami pergeseran. Pergeseran ini terjadi karena ada temuan dengan metode ukur satelit.
Ketua komisi VIII DPR, Abdul Kadir Warding :
Memang sedang terjadi pergeseran arah kiblat beberapa masjid dari 193 ribu masjid di Indonesia, rata-rata bergeser 0.7 sampai 1 derajat.
Pakar Astronomi Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Prof. Dr. Thomas Djamaludin membantah pemberitaan bahwa pergeseran lempengan bumi akibat gempa Chile telah menggeser arah kiblat sekitar 30 cm lebih ke kanan.
Banyak masjid yang dibangun dengan arah kiblat yang sekedar mengikuti arah barat lalu disorongkan sedikit ke kanan atau sekedar mendasarkan pada arah kiblat masjid yang terlebih dahulu dibangun yang belum tentu benar arah kiblatnya.
Gempa Chile berdampak pada pergeseran poros “gambar bumi” dan percepatan rotasi bumi, dan pergeserannya sekitar 8 cm, dimana sudutnya bergeser 2.7 mili detik busur = 0.00000075 derajat dan terlalu kecil untuk dilihat. Demikian juga gempa Aceh pergeserannya sekitar 7 cm dimana sudutnya bergeser 2.23 mili detik busur = 0.00000064 derajat.
Fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2010 tanggal 1 Pebruari 2010 tentang Kiblat :
  1. Kiblat orang yang sholat dan dapat menghadap ka’bah adalah menghadap bangunan ka’bah (‘ain ka’bah)
  2. Kiblat bagi orang yang sholat dan tidak dapat melihat ka’bah adalah arah ka’bah (jihat ka’bah)
  3. Letak geografis Indonesia yang berada di bagian timur ka’bah/Makkah, maka kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke arah barat.
Rekomendasi :
MUI merekomendasikan agar bangunan masjid/musholla di Indonesia sepanjang kiblatnya menghadap ke arah barat, tidak perlu diubah, dibongkar dan sebagainya.
Menanggapi fatwa MUI tersebut, Pemerhati Falak/Astronomi Indonesia berpendapat :
  • MUI tidak konsisten
  • Masyarakat yang bingung semakin bingung
  • Mengapa tidak difatwakan saja agar belajar falak.
READ MORE - GEMPA BUMI DAN PERGESERAN ARAH KIBLAT

Monday, March 29, 2010

POLEMIK RUU NIKAH SIRI

RUU Nikah Siri –
RUU Nikah Siri atau Rancangan Undang-Undang Hukum Materil oleh Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang akan memidanakan pernikahan tanpa dukeman resmi atau yang biasa disebut sebagai nikah siri, kini tengah memicu kontroversi ditengah-tengah masyarakat.
Draf usulan RUU Nikah Siri Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan menampung pasal tentang nikah siri atau nikah yang tidak tercatat di kantor urusan agama (KUA). Pasal tersebut menyebutkan, jika seseorang melakukan nikah siri atau melakukan kawin kontrak,ia dapat diancam dengan pidana penjara.
Pasal 143 RUU UU yang hanya diperuntukkan bagi pemeluk Islam ini menggariskan, setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi, mulai dari enam bulan hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp6 juta hingga Rp12 juta. Selain kawin siri,draf RUU juga menyinggung kawin mutah atau kawin kontrak.
Pasal 144 menyebut, setiap orang yang melakukan perkawinan mutah dihukum penjara selama-lamanya 3 tahun dan perkawinannya batal karena hukum. RUU itu juga mengatur soal perkawinan campur (antardua orang yang berbeda kewarganegaraan). Pasal 142 ayat 3 menyebutkan, calon suami yang berkewarga negaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp500 juta.
Masyarakat harus diberi kesadaran bahwa nikah itu tidak sekadar nikah atau bohong-bohongan, banyaknya pria menikah di bawah tangan dan janda-janda muda menjadi stimulasi agar hal tersebut perlu diatur. Pengaturan pernikahan bukan berarti negara ikut campur dalam masalah agama. Kalau kehidupan bermasyarakat tidak diatur,masyarakat bisa kacau.
Menurut Menteri Agama, Dari daftar inventarisasi masalah yang telah masuk itu, akan muncul berbagai pandangan mengenai rancangan pasal itu. “Mungkin saja ada yang cocok atau kurang cocok, mungkin nanti bertemu, pemikiran yang lebih sesuai dari apa yang dikonsepkan sekarang,”ujarnya.
Nikah siri dalam syariah agama disahkan. Namun dalam peraturan undang-undang hal itu tidak bisa disahkan karena belum tercatat dalam administrasi negara. Untuk itu, Suryadharma meminta para pelaku nikah siri untuk segera mencatatkan perkawinannya ke KUA. "Mereka harus mencatatkan itu (pernikahannya ke KUA), bukan berarti nikahnya nggak sah. Bila tidak sah kan berarti berzina bertahun-tahun," katanya.
Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Nasarudin Umar menjelaskan, maksud draf RUU tersebut tiada lain hanya untuk menjadikan kewibawaan perkawinan terjaga karena dalam Islam perkawinan adalah hal yang suci. Selain itu,RUU ini diajukan terkait masalah kemanusiaan.
Dia berharap, adanya UU ini nantinya akan mempermudah anak mendapatkan haknya seperti dapat warisan, hak perwalian, pembuatan KTP, paspor, serta tunjangan kesehatan dan sebagainya. Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menyatakan dukungannya terhadap draf RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan.Dalam pandangannya, nikah siri itu lebih banyak merugikan anak-anak dan kaum perempuan.
"Anak-anak yang lahir dari kawin siri itu tidak diakui hukum dan tidak mendapatkan hak waris," jelasnya. Mahfud menyatakan, perempuan yang dinikahi secara siri tidak diakui oleh hukum sehingga jika seseorang mempunyai dua istri, kemudian istri pertama adalah hasil pernikahan yang tercatat dan istri kedua adalah hasil nikah siri, maka istri pertama sangat kuat di hadapan hukum.
Masalah Perdata
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Arwani Faishal mengingatkan bahwa pernikahan adalah masalah perdata. Karena itu akan menjadi kezaliman pemerintah jika memenjarakan pelakunya. Dia kemudian membandingkan dengan pelaku kumpul kebo yang jelas-jelas bertentangan dengan agama mana pun, tapi tidak pernah dikenai sangsi pidana oleh negara.
"Lho, orang-orang yang menjalankan ajaran agama justru diancam dengan hukuman penjara? Jika ini terjadi justru negara malah bertindak zalim,"kata Arwani. Menurutnya, pernikahan siri atau pernikahan yang tidak didaftarkan secara administratif kepada negara adalah perkara perdata yang tidak tepat jika diancam dengan hukuman penjara. Bahkan sanksi material (denda) juga tetap memiliki dampak sangat buruk bagi masyarakat.
"Bila mengenakan denda dalam jumlah tertentu untuk orangorang yang melakukan nikah siri, tentu hal ini dapat menimbulkan ketidakadilan. Bukan masalah bagi mereka yang punya uang banyak. Namun tidak adil bagi mereka yang secara ekonomi hidupnya pas-pasan,"kata Arwani. Dalam pandangannya, nikah siri memiliki berbagai dampak positif (maslahah) dan dampak negatif (mafsadah) yang sama-sama besar.
Jika dilegalkan, akan sangat rawan disalahgunakan dan jika tidak diakui akan bertentangan dengan syariat Islam. "Untuk itu dampak negatif dan positif pernikahan siri harus dikaji dan disikapi bersama,"katanya
Pokok Perdebatan
1. Masalah perkawinan adalah masalah perdata, mengapa sampai pada masalah pidana
2. Pemerintah dianggap tidak konsisten dalam mengatur masalah perdata. Nikah siri yang adalah nikah yang sah menurut agama, mengapa harus ditegasi oleh pemerintah masalah keberadaannya. Sedangkan prostitusi yang oleh semua agama dilarang tidak diambil tindakan tegas.
Beberapa Pemecahan
Permasalahan perkawinan oleh masyarakat selama ini dikaitkan dengan 2 hal yaitu keabsahannya secara agama dan pencatatan di pemerintahan. Perkawinan dianggap sah apabila sah menurut agama, setelah itu baru dicatatkan dalam administrasi Negara baik di KUA maupun Catatan Sipil.
Pemerintah mempunyai hak untuk mengatur dan melindungi kepentingan warganya dalam setiap permasalahan, termasuk masalah perkawinan ini. Perkawinan merupakan instutusi paling awal bagi Negara untuk membentuk dan menata kehidupan masyarakatnya, karena dari perkawinan tersebut akan muncul sebuah rumah tangga, keluarga bahkan komunitas yang merupakan bagian dari warga negara, maka sangat mudah dipahami ketika Negara bermaksud untuk menata institusi perkawinan ini agar Negara tertata baik dari segi perkawinan yang dilandasi dengan agama maupun pencatatan untuk keteraturan pengadministrasian suatu negara.
Yang menjadi permasalahan dalam nikah siri ini adalah ketika pemerintah bermaksud untuk mempidanakan institusi pernikahan yang secara agama sah tetapi tidak dicatatkan, sedangkan pemerintah sendiri tidak serius dalam memberantas prostitusi. Bagi sebagian orang, pemerintah terlalu jauh mengatur kehidupan warganya, apalagi kalau yang diatur itu melanggar hak warga yang menurut keyakinan agamanya tidak dilarang, sebaliknya yang dilarang oleh agama dibiarkan.
Solusi yang ditawarkan sebagai berikut :
1. Masalah pidana dalam RUU tersebut ditiadakan, akan tetapi diganti dengan denda yang diperberat.
2. Masalah nikah siri tidak dimasukkan dalam RUU perkawinan, akan tetapi lebih baik dipertegas dalam masalah administrasi kependudukan.
3. KUA hanya akan mencatat pernikahan yang dilaporkan, sedangkan nikah siri, kumpul kebo, bahkan prostitusi merupakan tanggung jawab pemerintahan dari kelurahan sampai pusat melalui pembenahan administrasi kependudukan.
4. Pengadministrasian kependudukan hendaknya tidak menerima data yang tidak mempunyai landasan hokum yang jelas, misalnya masalah perkawinan, kelahiran, kematian dll.
5. Pemerintah hendaknya konsisten dalam memberantas kemaksiatan, bukan melarang sesuatu yang sah secara agama.
Demikian, semoga rangkuman ini bermanfaat. Amin
READ MORE - POLEMIK RUU NIKAH SIRI

Friday, March 19, 2010

ISBAT NIKAH MASAL

Pada hari Jum’at (29/01/10) mulai jam 08.00 WIB bertempat di Gedung Islamic Centre Kota Batu, Kantor Departemen Agama Kota Batu menyelenggarakan kegiatan Isbat Nikah Massal yang diikuti oleh 60 pasangan. Kegiatan ini dibuka secara resmi oleh Drs. Moh. Hasin, M.Ag (Kakandepag Kota Batu) dan dihadiri oleh para pejabat dilingkungan Kandepag Batu, Kepala KUA se-Kota Batu, Bagian Kesra Pemkot Batu, Ketua Pengadilan Agama Kota Malang dan disaksikan pula oleh para Petugas Pembantu Pencatatan Nikah (P3N) se-Kota Batu.Drs. H. Moh. Rosyad, selaku ketua pelaksana menjelaskan bahwa kegiatan ini terselenggara berkat kerjasama yang baik antara Kandepag. Kota Batu dengan Bagian Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Pemkot Batu dan Pengadilan Agama Kota Malang. Beliau menambahkan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk meberikan perlindungan kepastian hukum berupa surat nikah yang tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA), dengan kepastian hukum itu akan membantu peserta isbat terakui sebagai warga negara yang baik, selain itu juga sebagai upaya penertiban administrasi catatan kependudukan.”Pengurusan segala administrasi keluarga seharusnya diawali dengan bukti surat nikah. Misalnya mengurus akte kelahiran, kartu keluarga dll yang menyertakan suami istri harus ada bukti surat nikahnya. Apabila tidak dilengkapi mereka tidak bisa dianggap sebagai suami istri sesuai hukum di Indonesia” tambahnya. (Jazzy)
READ MORE - ISBAT NIKAH MASAL

  © Free Blogger Templates Skyblue by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP